Langkah strategis untuk mempercepat transisi energi global terwujud melalui penandatanganan Joint Study Agreement (JSA) antara PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) dan Zorlu Enerji Elektrik Üretim A.Ş. dari Turki. Kesepakatan ini bukan sekadar kerja sama bisnis, melainkan simbol diplomasi ekonomi hijau yang mengukuhkan posisi kedua negara sebagai pionir di sektor panas bumi. Hadirnya Menteri Koordinator Perekonomian RI Airlangga Hartarto dan Menteri Pertanian dan Kehutanan Turki İbrahim Yumaklı dalam acara tersebut menegaskan dukungan politik yang kuat dari kedua pemerintah.
Kolaborasi ini memadukan kekuatan dua raksasa energi terbarukan. PGE, dengan pengalaman lebih dari 40 tahun mengelola 10 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) di Indonesia, membawa cadangan potensial 3 GW dan target peningkatan kapasitas terpasang menjadi 1,7 GW pada 2034. Di sisi lain, Zorlu Enerji, pemain utama panas bumi Turki yang telah berekspansi ke 12 negara, membuka akses ke wilayah izin geothermal mereka di Turki untuk dikembangkan bersama. Proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) menjadi fokus utama, dengan ruang untuk pertukaran teknologi, penguatan rantai pasok domestik, dan menarik investasi hijau lintas negara.
“Ini adalah momentum untuk membuktikan bahwa panas bumi bisa menjadi tulang punggung kedaulatan energi bersih,” ujar Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sambutannya di Jakarta, (10/5/2025). Pernyataan ini merujuk pada komitmen Indonesia dan Turki yang tertuang dalam Memorandum of Cooperation (MoC) antar-kementerian energi kedua negara pada Februari 2025. MoC tersebut menjadi landasan bagi percepatan transfer teknologi dan penguatan ketahanan energi—sebuah langkah yang semakin relevan di tengah upaya global mencapai Net Zero Emission.
Bagi Indonesia, kerja sama ini adalah kesempatan emas untuk mengoptimalkan potensi panas bumi terbesar di dunia, yang mencapai 24 GW atau 40% cadangan global. Julfi Hadi, Direktur Utama PGE, menekankan bahwa kolaborasi ini akan memperkuat industri dalam negeri. “Transfer teknologi dari Turki akan membantu kami membangun sistem energi yang stabil dan berdaulat, sekaligus menarik minat investor global,” katanya. Di sisi lain, Zorlu Enerji melihat kolaborasi ini sebagai pintu masuk ke pasar Asia Tenggara, sekaligus memperkuat posisi Turki sebagai penghubung energi antara Asia dan Eropa.
Tak berhenti di pembangkit listrik, sinergi ini membuka peluang diversifikasi bisnis hijau. Pemanfaatan uap panas bumi untuk produksi hidrogen hijau, ekstraksi silika bagi industri manufaktur, hingga perdagangan kredit karbon menjadi skenario yang sedang dikaji. Kedua pihak juga akan mempelajari perbedaan karakteristik geologi—Indonesia yang kaya gunung api versus Turki dengan sistem panas bumi non-vulkanik—sebagai basis inovasi teknologi adaptif.
Di balik meja negosiasi, ada visi besar yang menyatukan kedua negara: menjadikan panas bumi sebagai alat diplomasi modern. Jika selama ini kerja sama internasional sering bertumpu pada sektor migas atau perdagangan konvensional, kolaborasi PGE-Zorlu Enerji menawarkan paradigma baru. Energi bersih tidak hanya menjadi solusi iklim, tetapi juga instrumen untuk memperkuat pengaruh geopolitik. Dengan langkah ini, Indonesia dan Turki tidak hanya mengejar target iklim nasional, tetapi juga menantang dominasi negara-negara Barat dalam peta energi global.
“Dari Ankara hari ini, kami ingin buktikan bahwa transisi energi bukanlah mimpi,” tegas Julfi Hadi. Optimisme itu bukan tanpa alasan. Kolaborasi lintas benua ini berpotensi menjadi model bagi negara-negara G20 lainnya—terutama yang memiliki potensi geothermal tinggi namun masih terhambat teknologi dan investasi. Jika berhasil, langkah kecil di Turki ini mungkin akan dikenang sebagai titik awal revolusi energi bersih yang inklusif dan berpihak pada kedaulatan negara berkembang.