Teknologi Pengisian Ultra-Cepat BYD Antara Ambisi dan Realitas Pengguna

Inovasi pengisian daya ultra-cepat (ultra-fast charging) yang digaungkan BYD dengan teknologi megawatt flash charging memang memukau. Klaimnya mampu mencapai 1.000-1.360 kW—dua kali lebih cepat dari charger Tesla—menjanjikan pengisian baterai 80% hanya dalam hitungan menit. Namun, di balik angka megawatt yang menggiurkan, ada sederet tantangan yang justru mengundang pertanyaan: seberapa relevan teknologi ini bagi pengguna mobil listrik di Indonesia, atau bahkan secara global? Meski masih jauh bahwa pengisian cepat itu bakal masuk ke Indonesia dalam waktu dekat, beberapa realitas di Tanah Air menjadi hambatan bagi penggunaan teknologi fast charging tersebut.

Pertama, mari lihat realitas kebiasaan pengisian daya. Mayoritas pemilik kendaraan listrik di dunia—termasuk di Indonesia—lebih sering mengisi daya di rumah, kantor, atau lokasi dengan waktu parkir panjang seperti mal. Survei di Eropa menunjukkan bahwa 80% pengisian dilakukan di lokasi dengan durasi parkir lebih dari satu jam, di mana kecepatan ultra-cepat menjadi kurang signifikan. Di Indonesia, tren serupa mulai terlihat. Pengguna, mengaku lebih memilih stasiun pengisian biasa di pusat perbelanjaan karena bisa mengisi sambil beraktivitas.

Persoalan infrastruktur pun menjadi penghambat utama. Teknologi megawatt charging membutuhkan kabel berpendingin cair (liquid-cooled) dan sistem penyimpanan energi (ESS) yang harganya bisa mencapai Rp2 miliar per unit—belum termasuk biaya pemeliharaan rutin seperti penggantian cairan pendingin. Sementara itu, rasio stasiun pengisian umum di Indonesia masih 1:13 mobil listrik, jauh di bawah standar ideal 1:6. Alih-alih fokus pada teknologi ultra-cepat yang mahal, pemerataan charger biasa (AC) dan fast charging (DC) di lokasi strategis—seperti perumahan, jalan tol, atau daerah terpencil—justru lebih mendesak. Apalagi, ketimpangan infrastruktur masih tinggi: 70% stasiun pengisian terkonsentrasi di Jawa, sementara wilayah lain seperti Papua atau Kalimantan masih kesulitan akses.

Tantangan berikutnya adalah beban pada jaringan listrik. Megawatt charging memerlukan daya setara 1.000 rumah tangga per stasiun. Di Indonesia, di mana 60% listrik masih bergantung pada batubara dan kapasitas grid di banyak daerah terbatas, teknologi ini berisiko memicu pemadaman bergilir jika diterapkan masif. Solusi BYD dengan ESS—yang menyimpan energi saat grid sepi—memang cerdas, tetapi kapasitas penyimpanan 1,5 MWh hanya cukup untuk 1-2 mobil sebelum harus diisi ulang. Artinya, stasiun ini hanya efektif di lokasi dengan lalu lintas kendaraan listrik rendah, seperti jalan tol sepi, yang justru bertolak belakang dengan kebutuhan pengisian cepat di area ramai.

Dari sisi ekonomi, teknologi ini juga belum sejalan dengan profil pasar Indonesia. Mobil listrik kompatibel megawatt charging umumnya masuk segmen premium, seperti BYD Seal (Rp800 juta) atau Zeekr 001 (Rp1,5 miliar). Padahal, pasar Indonesia didominasi oleh EV ekonomis seperti Wuling Air EV (Rp200-300 juta) dengan kapasitas baterai terbatas. .

Lalu, adakah solusi yang lebih realistis? Pengalaman Norwegia—negara dengan adopsi EV tertinggi di dunia—bisa menjadi acuan. Di sana, 95% pengguna puas dengan kecepatan 50-150 kW selama jaringan charger tersedia setiap 50 km. Untuk Indonesia, kombinasi charging biasa (AC) di perumahan dan fast charging (DC) di rest area tol lebih masuk akal. Pemerintah juga perlu mendorong insentif bagi produsen lokal untuk memproduksi charger terjangkau, sekaligus bekerja sama dengan PLN memperkuat grid berbasis energi terbarukan.

Tak kalah penting, dampak lingkungan harus dipertimbangkan. Pengisian ultra-cepat meningkatkan konsumsi energi per sesi, yang berpotensi menaikkan emisi tidak langsung jika listrik masih berbasis batubara. Studi di Jerman menyebut charging 350 kW menghasilkan 30% lebih banyak emisi dibanding 150 kW. Di Indonesia, yang baru menargetkan 23% energi terbarukan pada 2025, langkah bijaknya adalah menyeimbangkan inovasi teknologi dengan kesiapan infrastruktur hijau.

Pada akhirnya, ambisi BYD patut diapresiasi sebagai bukti kemajuan industri EV. Namun, bagi Indonesia, aksesibilitas dan pemerataan masih jadi kunci. Daripada terjebak dalam “perang megawatt”, fokus pada pembangunan jaringan charging yang merata, peningkatan efisiensi baterai, dan kolaborasi multipihak akan lebih berdampak.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *